top of page
Post: Blog2_Post
Writer's picturePdt. Dr. Rubin Adi Abraham

Kontroversi Penggunaan Nama “Allah”

Akhir-akhir ini ada sekelompok orang Kristen yang tidak mau menggunakan nama “Allah” untuk sesembahan orang percaya tapi mengganti nama Allah dalam Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dengan Eloim (seharusnya: Elohim), nama “TUHAN” dengan Yahweh, nama “Yesus Kristus” dengan Yesua Hamasiah. Alasannya antara lain:

  1. Allah adalah dewa/berhala yang disembah orang Arab, sebagai dewa air, dewa bulan, dll.

  2. Nama “Allah” berasal dari Babilonia yang menyembah berhala, lalu menyebar ke Arab.

  3. Allah adalah nama Tuhannya umat Islam, bukan umat Kristen.

  4. Nama diri (proper name) Tuhan adalah Yahweh, berarti mengganti namanya dengan “Allah” adalah salah bahkan dianggap menghujat Yahweh, karena telah mengganti nama-Nya dengan nama dewa atau berhala (I Taw. 16:26). Ini berarti semua kata penyebutan dalam bahasa apapun di dunia untuk Tuhan [misalnya: “God” (Inggris), Gott (Jerman), Dieu (Perancis), Debata Mulajadi Na Bolon (Batak), Gusti (Sunda/Jawa)] harus diganti dengan kata Yahweh atau Elohim, karena nama lain identik dengan nama dewa.

Nama Yahweh harus dimuliakan dan dikuduskan (Kel 20:7, Mat. 6:9), karena nama Yahweh adalah nama Tuhan yang satu-satunya dan turun temurun (Yes. 42:8, Kel. 3:15, Zach. 14:9).

Beberapa hal yang perlu kita pahami dulu sebelum kita menyetujui atau menolak pandangan tersebut. Antara lain:

Dalam Alkitab Ibrani (Masoret Text) ada tiga nama utama yang digunakan untuk menunjuk kepada “The Supreme God” ini yang pertama adalah:


  1. El/Elohim. Nama El dan Elohim bisa digunakan sebagai gelar/sebutan/panggilan umum (generic appelative) ataupun nama diri (proper name), tergantung konteksnya. Mis: Kej. 33:20 “Allah (Elohim) Israel adalah Allah (El). Namun nama El lebih banyak digunakan sebagai “nama diri” Tuhan, sedangkan Elohim lebih banyak digunakan sebagai “sebutan/gelar/panggilan umum”. Nama El juga disejajarkan dengan nama Yahweh. Mis: Ul. 9:5 “Aku, TUHAN (Yahweh), Allahmu (Elohim), adalah Allah (El) yang cemburu; Kej. 28:16-19, dll. Nama kedua dalam bahasa Ibrani adalah:

  2. YHWH (atau YHVH) yang disebut dengan istilah: Tetragrammaton. Nama ini baru dikenal Musa sebagai pribadi yang membawa umat Israel keluar dari Mesir. Kel. 6:1-2 “Akulah TUHAN (Yahweh), Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah (El) yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN (Yahweh), Aku belum menyatakan diri. (Bnd. Kel. 3:13-14). Jadi pada masa patriakh nama “El/Elohim”-lah yang digunakan dan baru pada masa Keluaran nama Yahweh dinyatakan kepada Musa. Dengan demikian pandangan bahwa nama Yahweh adalah nama satu-satunya dari kekal sampai kekal tidak benar. Lagipula sekalipun nama Yahweh telah diperkenalkan, ternyata nama El sebagai nama diri masih dipakai juga bahkan sampai sesudah Pembuangan di Babel sebagai pengganti nama Yahweh (Yes 40:18; 43:10-12).Nama ketiga dalam bahasa Ibrani adalah:

  3. ADONAI, diterjemahkan sebagai “Tuan” atau “Tuhan” (beda dengan Yahweh yang diterjemahkan “TUHAN”). Dalam PL sekitar 300 kali Adonai dipakai sebagai kata di depan Yahweh. Oleh LAI agar tidak menimbulkan pengulangan tidak diterjemahkan menjadi “Tuhan TUHAN”, tapi “Tuhan ALLAH” (beda penulisan dengan “Allah” yang merupakan terjemahan dari El/Elohim).Pada abad ke III sM, Eliezer, Imam Besar Bait Allah di Yerusalem mengutus para ahli kitab Israel ke Mesir atas undangan raja Ptolomeus Philadelpus untuk menterjemahkan Alkitab PL bahasa Ibrani ke bahasa Yunani, yang disebut sebagai Septuaginta (LXX atau 70). Dalam Septuaginta istilah El/Elohim diterjemahkan menjadi Theos, dan Yahweh/Adonai menjadi Kurios (atau Kyrios). Penggantian nama dalam penterjemahan itu tidak menjadi masalah bagi orang Yahudi.

Septuaginta adalah Alkitab yang digunakan oleh Yesus maupun para rasul semasa mereka hidup. Sebagian besar kutipan PL dalam PB diambil langsung dari Septuaginta, sekalipun kalimatnya ada yang sedikit berbeda dengan teks Masoret (Ibrani). Berarti Theos dan Kurios adalah istilah yang mereka pakai untuk menyebut El/Elohim dan Yahweh. Dan tidak ada bukti ayat dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa mereka keberatan atas penterjemahan itu.

Istilah Theos dan Kurios juga dipakai oleh para penulis Alkitab Perjanjian Baru (yang ditulis dalam bahasa Yunani) untuk menulis nama sesembahan mereka..

Di kayu salib Yesus memanggil nama Bapa-Nya dengan berkata “Eli/Eloi Eli/Eloi lama sabakhtani (Mat. 27:46, Mrk. 15:34). Saat itu Yesus berbicara dalam bahasa dialek lokal Aram, bukan bahasa Ibrani yang menyebut Tuhan sebagai El/Elohim atau Yahweh. Berarti memanggil nama El/Elohim dalam bahasa non Ibrani, dianggap wajar oleh Yesus.

Fakta bahwa Tuhan tidak menuliskan “Nama-Nya” dalam bahasa “Ibrani” saja, menyadarkan kita bahwa rupanya terjemahan bahasa merupakan salah satu cara yang Tuhan pakai untuk menyebarluaskan firman-Nya. Tampaknya tidak ada satu bahasa pun yang dipilih Tuhan sebagai bahasa resmi sorgawi, mungkin dengan maksud agar bahasa tidak diperdewakan (bibliolatry).

Berbeda dengan Yudaisme yang bersifat sentripetal (memusat) ke Yerusalem dan bangsa/ bahasa Ibrani atau Islam ke Mekah dan bangsa/bahasa Arab; Kekristenan bersifat sentrifugal (menyebar) sesuai Amanat Agung Penginjilan (Mat. 28:19). Jadi Kabar Baik diberitakan bukan sebagai monopoli bangsa Yahudi dengan bahasa Ibraninya tetapi sebagai milik bangsa-bangsa lain juga. Bandingkan: Yohanes menyebut Yesus sebagai Logos (Yoh. 1:1) istilah Yunani yang dikenal waktu itu sebagai “ide/hikmat tertinggi dari sang Pencipta” ataupun Paulus yang memperkenalkan Allah Monotheisme (Sang Pencipta) kepada orang Athena dengan menggunakan jalan masuk “Allah yang tidak dikenal” (Kis. 17:23) secara kontekstual. Paulus menggunakan istilah atau nama yang ada, kemudian memberikan pemahaman isi yang baru terhadap istilah atau nama tersebut.

Pada hari Pentakosta yaitu “hari kelahiran gereja”, firman Tuhan yang diucapkan oleh para rasul malah diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh Roh Kudus! (Kis.2:1-13). Pada saat itu pun orang Arab sudah ada yang menjadi Kristen (ay. 11) dan mendengar firman dalam bahasa Arab tentunya.

Alkitab terjemahan Aram-Siria yang disebut “Peshita” menggunakan nama “Alaha”, yang merupakan perkembangan penyebutan nama El ke dialek Aram-Siria. Penemuannya yang tertua berasal dari awal abad V (dua abad sebelum masa Islam). Penggunaan kata Alaha dalam jemaat Gereja Orthodox Siria kuno sudah terjadi lama sekali dan tidak terpengaruh budaya kafir ‘Jahiliyyah’ yang berpengaruh di sekitar Mekah. Inskripsi Ummul Jimmal pada pertengahan abad ke 6 membuktikan di sekitar Siria nama Allah disembah dengan konsep yang benar. Inskripsi itu diawali dengan ungkapan Allah ghafran (Allah mengampuni). Alkitab Arab menggunakan nama Allah sebagai perkembangan penyebutan nama El ke dialek bahasa Arab.

  • Istilah “Allah” berasal dari kata “al-illah”. Al = “the” dalam bahasa Inggris, illah = Tuhan. Jadi artinya: Tuhan yang Satu. Nama “Allah” ini telah dikenal dan dipakai sebelum Al-Quran diwahyukan. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan juga merupakan nama yang oleh umat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur digunakan untuk memanggil Tuhan.

  • Perlu diingat nama “El” yang dipanggil Abraham adalah juga nama Tuhan yang dipanggil oleh Hagar, ibu Ismael (Kej. 16:13) yang kemudian menurunkan bangsa Arab dan agama Islam. Allah monotheis Abraham “El” ini yang kemudian dipercaya oleh nenek moyang bangsa Arab dan kemudian berkembang dalam dialek Arab sebagai “Allah”.

  • Spencer Trimingham dalam bukunya Christianity Among the Arabs in the Pre-Islamic Tunes (1997:74) membuktikan bahwa pada tahun yang sama dengan diselenggarakannya konsili Efesus (tahun 431), wilayah suku Arab telah mempunyai uskup Kristen bernama Abdelos, yang merupakan pe-Yunanian dari nama Arab “Abdullah” yang artinya “hamba Allah”.

  • Encyclopaedia Britannica mencatat: Allah (arabic: “God”), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God”. The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standart Arabic word for “god” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.

Mengenai banyaknya umat Islam Indonesia yang mengira bahwa istilah “Allah” itu khusus Islam, cendikiawan Muslim: Dr. Nucholis Majid mengingatkan bahwa claim itu bertentangan dengan Qur’an sendiri (Qur’an 12:106) juga bertentangan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekrang di kalangan bangsa arab terdapat kelompok-kelompok non-Islam, yaitu Yahudi dan Kristen dan mereka juga menyebut Allah. Jadi nama Allah bukanlah monopoli milik orang Arab masa Jahiliyyah ataupun orang Islam, karena berasal dari kata El/Elohim yang sudah ada jauh sebelum masa Jahiliyyah dan masa Islam. Tahun 1982 pemerintah Malaysia melarang orang bukan Islam menggunakan kata Allah dan beberapa kata Arab lainnya. Tapi sebetulnya kelompok yang telah membujuk pemerintah Malaysia untuk melakukan tindakan itu sebenarnya jahil terhadap agamanya sendiri karena tidak melakukan pendalaman dengan seksama. Adapun nama “Allah” itu merosot pada zaman Jahiliyyah dan dipakai untuk menyebut dewa air Arab bisa saja terjadi, namun tetap ada orang Arab (yang disebut kaum hanif atau hunafa) yang mengacu pada nama dalam pengertiannya yang semula yaitu keyakinan monotheisme zaman kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. Karena itulah pengertian Allah dalam agama Islam merupakan pemulihan kembali (restorasi) tentang konsep Allah yang telah merosot pada masa jahiliyyah itu. Sebenarnya kemerosotan pengertian akan nama El/Elohim juga pernah terjadi dalam sejarah Israel, karena dipahami sebagai dewa Kanaan yang bernama Baal (Hak. 8:33, 1 Raj 10:18, Yer. 2:8). Bahkan patung anak lembu emas yang disembah Israel waktu Musa naik ke gunung Sinai juga dinamakan Elohim dan Yahweh. “Mari buatlah untuk kami allah (elohim) … Hai Israel, inilah Allah (Elohim)mu … Berserulah Harun, katanya: Besok hari raya bagi TUHAN (Yahweh)!” (Kel. 32:1-5). Dengan demikian seseorang yang menggunakan nama Yahweh tidak otomatis tertuju kepada pribadi YHWH, sebaliknya yang menyebut “El” yang dalam dialek Arab disebut “Allah” ternyata tertuju kepada YHWH. Berkaitan dengan pandangan bahwa nama sesembahan tertinggi itu tidak boleh diganti atau diterjemahkan, maka secara harfiah nama YHWH itu sulit diucapkan karena terdiri dari 4 huruf mati (konsonan), sehingga ada yang menyebutnya Yahwe, Yahweh, Yehowah, Jehovah, Yehuwa dll. Sebetulnya tidak ada yang tahu bagaimana melafalkannya dengan tepat, karena kita tidak tahu huruf hidup (vocal) apa yang harus disandingkan bagi YHWH itu. Jadi yang harus dipertahankan dalam hubungan dengan nama maupun sebutan bukanlah ucapan huruf-huruf itu melainkan hakikat dari YHWH (tetragramatton) itu sendiri. Menyimak berbagai masukan di atas, dapatlah kita menarik beberapa pelajaran: ujuan sekelompok orang yang katanya ingin menjaga kemurnian nama sesembahan orang Kristen itu ternyata telah menimbulkan dampak konflik intern yang menjurus kepada perpecahan. Sangat memprihatinkan kalau di satu gereja orang berdoa, “Kami usir roh Allah”, sedangkan di gereja lain umat berdoa, “Penuhi kami dengan Roh Allah”. Apakah ini tidak mengoyak tubuh Kristus? Akibatnya akan muncul jemaat sempalan yang membentuk gereja baru karena pemahaman yang kurang luas tentang teologi dan perkembangan latar belakang budaya serta bahasa. Sejauh ini di Indonesia belum pernah ada kasus konflik melibatkan Islam-Kristen yang dipicu persoalan nama Allah. Sebaliknya bila kita menyebut nama Allah sebagai dewa air atau dewa bulan yang disembah orang Arab dan Islam, bukankah itu merupakan penyebar ketidakbenaran yang bisa mengakibatkan pertikaian? Bagi Islam sendiri bulan tidak dianggap sebagai Tuhan, lambang bulan hanyalah sebagai petunjuk ritme waktu (kalender lunar). Sebenarnya masalah nama Allah di Indonesia justru banyak ditimbul-kan oleh kalangan Kristen sendiri, misalnya dengan munculnya tulisan yang cenderung menyudutkan dan merendahkan arti kata “Allah” itu menjadi sekedar nama dewa Arab. Gereja perlu bersatu untuk melaksanakan hal yang lebih positif seperti melaksanakan Amanat Agung Yesus daripada meributkan masalah yang sebetulnya tidak terlalu esensial seperti cara melafalkan nama sesembahan orang percaya dengan benar. Perlu diketahui kelompok pengagung nama Yahweh ini telah mengedarkan Alkitab sendiri, yang sebenarnya secara tidak etis melakukan tindakan plagiat yaitu dengan cara menggunakan tanpa ijin karya terjemahan LAI (yang dikerjakan oleh puluhan ahli teologi dan bahasa yang mewakili mayoritas aliran gereja dan melibatkan dana besar) dan mengganti beberapa istilah dalam Alkitab itu. Adalah gegabah bila satu orang atau kelompok yang tidak belajar teologi formal mau menggantikan kerja tim ahli itu dan menganggap karyanya sendiri paling benar dan karya yang lain itu salah. Janganlah kita mencampur-adukkan pengertian bahasa (linguistik) dengan pengertian teologi (dogmatik/ aqidah).

  • Bahasa itu selalu mengalami perkembangan bentuk dan arti. Bahkan bahasa Ibrani pernah menjadi bahasa “mati” (bahasa tulisan) yang hanya digunakan dalam penulisan sastra/kitab suci saja. Pada masa Yesus hidup, bahasa Aram-lah yang digunakan sehari-hari. Baru dalam dua abad terakhir ini bahasa Ibrani menjadi bahasa modern yang “hidup” kembali dalam percakapan sehari-hari.

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam bahasa Indonesia terdapat 1.495 kosa kata bahasa Arab, 1.610 bahasa Inggris, dan 3.280 bahasa Belanda yang kemudian menjadi kata-kata bahasa Indonesia. Kata Allah termasuk yang menjadi kosa-kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Karena itu penggunaan kata Allah untuk menyebut El/Elohim dalam PL dan Theos dalam PB adalah tepat.

  • Kecenderungan sebagian orang Kristen di Indonesia selama ini untuk menghindari penggunaan kata-kata Arab tertentu dan sebagai gantinya mencari kata-kata non-Arab memperlihatkan lemahnya pemahaman tentang bahasa sebagai sebuah alat komunikasi yang seharusnya semakin membawa manusia hidup berdampingan secara damai dan bukannya malah semakin merenggangkan relasi-relasi kemanusiaan.

Kita harus mengingat upaya kelompok Saksi Yehuwa yang dari dulu dengan gigih mempertahankan nama YHWH. Jangan sampai mereka mendapat keuntungan dalam penyebaran kepercayaannya gara-gara soal penyebutan nama Allah ini. Umat Kristen di Indonesia sejak abad XVI telah menggunakan nama Allah dalam terjemahan Alkitab. Dalam terjemahan bahasa Melayu dan Indonesia, kata “Allah” sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Corneliz Ruyl, 1629). Begitu juga dalam Alkitab Melayu yang pertama (terjemahan Melchior Leijdekker, 1733) dan Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini. Gereja Tuhan di Indonesia telah berkembang dan diberkati sejak abad XVI walaupun menggunakan nama Allah. Memang ada tuduhan bahwa Tuhan telah menghukum gereja di Indonesia dengan banyaknya gedung yang dibakar, ditutup dsb. Tapi peristiwa itu terjadi karena isu kristenisasi dan sama sekali bukan karena penyebutan nama Allah. Kita harus waspada karena di akhir zaman akan muncul berbagai pengajaran baru yang kelihatannya menarik tapi membingungkan dan tidak Alkitabiah. Seperti: Penginjilan kepada arwah orang mati, penginjilan kepada setan, penafsiran tentang hari kedatangan Tuhan, orang yang jatuh dalam dosa harus ditahirkan dalam air berulang-ulang seperti Naaman, tidak merayakan Natal karena dianggap warisan budaya kafir yang menyembah dewa matahari, kontroversi penggunaan nama Allah yang dianggap menyembah dewa air atau dewa bulan dll. Ingat pesan Paulus kepada Timotius dalam II Tim. 4:2-5; I Tim 4. Menurut Olaf Schumann, beberapa ciri bidat (yaitu aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran resmi atau ajaran yang umum dianut mayoritas pemeluk) antara lain:

  • Pengkultusan individu para tokohnya, yang biasanya pendapatnya bertentangan dengan arus utama.

  • Bersifat elitis dan eksklusif. Sikap yang menganggap keyakinannya paling benar dan yang berada di luar itu tidak benar.

  • Kecaman takabur kepada gereja. Dalam kontroversi nama Allah dikatakan: “Kalau menggunakan nama Allah berarti menghujat Yahwe; LAI singkatan: Lembaga Alat Iblis; pengikut yang berdoa kepada Allah sebagai pengikut Allah setan”.

  • Mempraktikkan Taurat baru.

  • Fanatisme Yudaisme. Mengagungkan bahasa Ibrani bahkan mengubah nama diri mereka dengan nama “Ibrani”.

  • Motivasinya dipertanyakan. Cenderung menimbulkan kebingungan, pertentangan dan perpecahan.

Bapa Sorgawi tahu hati manusia yang menyembah-Nya dengan menyebut Allah Abraham, Ishak dan Yakub, tanpa membayangkan menyembah dewa. Bapa tidak menganggap itu menghujat Dia karena Bapa melihat hati yang mengasihi pribadi-Nya bukan hanya karena soal pelafalan nama-Nya. Sebaliknya memakai nama Yahweh atau El/Elohim tanpa menghormati Pribadinya sama dengan mencemarkan nama-Nya. Seperti Israel yang menyebut El/Elohim atau Yahweh tapi tidak hidup menurut jalan-jalanNya sehingga Allah merasa jemu dan jijik akan korban bakaran mereka bahkan kemudian mereka dihukum oleh Dia. Akhirnya mari kita menyimak perkataan rasul Paulus dalam I Kor. 8:4-6 “Tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.” Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah” bai di sorga maupun di bumi – dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.

2 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


bottom of page